1. Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta. Jasad renik penyebab è Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis.
Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897) mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit intraseluler dan dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster. Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang pada babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen a. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak begitu berperan.
Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa:
- kluron,
- anak ternak yang dilahirkan lemah,
- kemudian mati,
- terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen.
- Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.
Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
Pada kambing brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala klinik, walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal ini merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina.
Pada sapi perah, brucellosis dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting kembali, tetapi Tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan metritis (peradangan uterus). Brucellosis penyakit dapat menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.
Pada sapi betina bakteri Bang terdapat pada uterus, terutama pada endometrium dan padaruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili, ruang diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes, khususnya dalam tubuli seminiferi.
Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu
- sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
- bahanbahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,
- amonium kwarterner, biocid dan lisol
- hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama
- anakanak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis
- kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
Pengobatan :
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2. Penyakit Anthrax (Radang Limpa)
Anthrax
Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan jaringan bersifat septicemi, timbulnya infiltrasi serohemorrhagi pada jaringan subkutan dan subserosa dan dengan pembengkakan akut limpa. Pelbagai jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Faktor-faktor predisposisi daat mempermudah timbulnya penyakit pada hewan-hewan yang mengandung spora yang bersifat latent.
Menurut penelitian, kerentanan hewan terhada anthrax dapat dibagi dalam beberapa kelompok:
- Hewan-hewan pemamah biak terutama sai, domba kemudian berturut-turut kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lainnya
- Babi tidak begitu rantan
- Anjing, kucing, tikus dan sebagian besar bangsa burung realtif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan
- Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan
Manusia juga rentan terhadap infeksi bakteri ini, meskipun tidak serentan ternak pemamah biak. Anthrax merupakan salah satu zoonosis yang penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia.
Di Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong.
Penyakit anthrax di Indonesia ditemukan sejak tahun 1884. Sejak itu Pemerintah baik pada masa kolonial Belanda sampai Pemerintah RI telah berupaya untuk menurunkan kasus-kasus penyakit bakterial ini.
Namun pada awal tahun 1990 tiba-tiba masyarakat peternakan Indonesia dikejutkan dengan wabah anthrax yang menyerang sapi-sapi perah di Boyolali. peristiwa ni menyebabkan jumlah ternak yang terjangkiti penyakit anthrax mencapai 3600 ekor sapi dan 1406 ekor sapi mati.
Penyebab
Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis. Faktor-faktor seperti hawa dingin, kekurangan makanan dan keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit pada ternak-ternak yang mengandung spora yang bersifat laten.
Bacillus anthracis berbentuk batang, lurus dengan ujung siku-siku. dalam biakan membentuk rantai panjang. dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2 - 6 organisme. Dalam jaringan tubuh selalu berselubung (berkapsel). kadang-kadang satu kapsel melingkupi Beberapa organisme.
Bakteri Bacillus anthracis bersifat gram positif, berukuran besar dan tidak dapat bergerak. Bakteri yang sedang menghasilkan spora memiliki garis tengah 1 mikron atau Lebih dan panjang 3 mikron atau lebih.
Basil anthrax bersifat aerob dan akan membentuk spora yang letaknya di tengah bila cukup oksigen. Spora tersebut mampu hidup di tanah sampai puluhan tahun. Bentuk spora lebih tahan terhadap suhu pasteurisasi, oleh macam-macam desinfektan atau proses pembusukan dibandingkan bentuk vegetatif B. antracis.
Pemusnahan spora B. anthracis dapat dicapai dengan uap basah bersuhu 900C selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 1000C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 1200C selama satu jam.
Penularan
Cara penularan Anthrax
- Spora dan tanah
- Port d’entre Anthrax
Anthrax tidak lazim ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung. Wabah anthrax pada umum nya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut.
Bila penderita anthrax mati kemudian diseksi atau termakan burung-burung atau ternak pemakan bangkai, maka sporanya akan dengan cepat terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian, maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar angin. air pengolahan tanah,rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora. Apabila rumput ini dimakan sapi perah maupun ternak lainnya, mereka akan tertulari.
Penyebaran penyakit ini umumnya dapat berkaitan dengan pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan yang kasar kadangkala menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut maka terjadi infeksi spora.
Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi spora. Selain itu gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih bebas merupakan cara penularan juga.
Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease), sedangkan infeksi melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.
Gejala Klinis pada Ternak
Gejala klinis dan gejala umum anthrax
Gejala-gejala umum anthrax berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar. Pembengkakan tersebut berkembang dengan cepat dan meluas, bila diraba tarasa panas, konsistensinya lembek atau keras, sedangkan kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair berwarna kuning muda. Kemudian pembengkakan pada daerah leher, pada selaput lendir rektum serta pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Anthrax ada 3 bentuk yaitu perakut, akut dan kronis.
Pada ternak terdapat tiga bentuk penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut mempunyai gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar kemudian ternak rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan gejala kejang-kejang. Kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam saja.
Pada kondisi akut, mula-mula terjadi panas tubuh yang meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi dengan pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah, kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,50C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan lidah adalah salah satu gejala umum yang tampak.
Pada bentuk perakut kematian dapat mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut kematian dapat mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.
Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya terdapat pada babi, tetapi juga terdapat pada ternak lainnya. gejalanya ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan. Bangkai ternak yang mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis dan sangat menggembung. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.
Gejala patologis anatomis
Bangkai hewan yang mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai hewan yang mati karena anthrax cepat membusuk karena sepsis. Kekakuan bangkai biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur yang bengkak dan ceat membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.
Pencegahan, Pengobatan dan perlakuan pemotongan hewan dan daging.
Bagi daerah bebeas anthrax tindakan pencegahan didasarkan ada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Anthrax pada hewan ternak daat dicegah dengan vaksin pada umumnya hewan ternak di daerah enzootik anthrax yang dilakukan setiap tahun disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketata. Oleh karena anthrax pada hewan ternak sangat menular dan fatal, pengendalia enyakit didasarkan pada engobatan seawal mungkin disertai cara-cara pengendalian yang ketat. Hewan berpenyakit anthrax dilarang keras untuk dipotong.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa diupayakan adalah (1) bagi daerah yang masih bebas anthrax, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan ternak ke daerah tersebut (2) pada daerah enzootik anthrax, anthrax pada ternak ternak dapat dicegah dengan vaksinasi yang dilakukan setiap tahun. Pada sapi dan kerbau dosis 1 cc, pada kambing, domba, babi dan kuda dosis sebesar 0,5 cc. Vaksin diberikan secara injeksi subkutan.. Membuat preparat apus darah yang diambil dari telinga pada ternak yang mati secara tiba-tiba (3) jika ternak mati karena anthrax, maka tidak boleh dibuka bangkainya, tetapi diambil salah satu daun telinga dan masukkan ke dalam kantong plastik serta didinginkan jika mungkin, selanjutnya di bawa ke laboratorium untuk didiagnosis. Bangkai langsung dibakar atau dikubur sedalam 2 meter dan ditutup kapur, kulit dan bulu penderita dimusnahkan.
Pengobatan
Pengobatan umumnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara antiserum dan antibiotika. Antibiotika yang dipakai antara lain Procain Penisilin G, treptomisin atau kombinasi antara Penisilin dan Streptomisin.
3. Radang Ambing ( Mastitis)
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.
Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.
Faktor Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting Saat periode kering adalah saat awal bakteri penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas eroginosa. Dilaporkan juga bahwa yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor sapi perah lokal Zebu dan persilangan, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari 134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus.
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar.
Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%.
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna. Faktor bangsa sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar daripada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis bisa mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang baik mencapai 49,39%.
Gejala-gejala
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara penularan
Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
Untuk mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan hendaknya ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan ß-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
Sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya ß- laktamase yang akan menguraikan cincin ß- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
Strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
Hasil penelitian Wall (2006) menunjukkan bahwa efikasi pirlymycin sebagai antibiotik untuk mengatasi mastitis yang disebabkan Staphylococcus aureus hanya bisa mencapai 13% dengan masa terapi dua hari, dan mencapai 31% apabila terapi diperpanjang sampai 5 hari. Jika diperhitungkan antara produksi susu dengan biaya terapi, ongkos bahan bakardan adanya kandungan sel-sel somatik dalam air susu, maka masih dibawah Break Even Point.
Selanjutnya Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.
Wall (2006) melaporkan bahwa enzim protepolitik yang dikenal dengan Lysotaphin, yang dihasilkan oleh Staphylococcus simulans bisa memotong ikatan – ikatan spesifik dalam komponen dinding sel, yaitu peptidoglycan dari Staphylococcus aureus. Efikasi Lysotaphin untuk terapi mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus telah dievaluasi pada beberapa jenis ternak, antara lain : tikus, kambing dan sapi. Infusi Lysotaphin ke dalam kelenjar mammae yang terinfeksi memberikan respon perbaikan produksi pada laktasi berikut sebesar 20%. Transgene Lysotaphin memberikan pertahanan kuat melawan berbagai bakteri penyebab mastitis. Susu transgenik juga mengandung agen-agen yang menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan, sehingga susu dan produk susu lebih panjang daya simpannya.
Dalam pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik, sehingga pengobatan bisa efektif, diperlukan uji sensitifitas antibiotik tersebut terhadap bakteri penyebab mastitis, terutama Staphylococcus aureus. Perlu diketahui bahwa Staphylococcus aureus telah menunjukkan sifat resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan sifat resistensinya, maka Staphylococcus aureus dikelompokkan dalam beberapa golongan, antara lain (1) Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim ß-laktamase, yang berada di bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap beberapa penisilin, antara lain penisilin G, ampisilin, piperasilin, tikarsilin dan obat-obat yang sejenis (2) Staphylococcus aureus yang resisten terhadap nafsilin, oksasilin, metisilin, yang tidak tergantung pada produksi ß-laktamase. Gen mecA untuk resistensi terhadap nafsilin terletak di kromosom.Resistensi ini berkaitan dengan kekurangan PBP (Penicillin Binding Protein) (3) Staphylococcus aureus yang memiliki kerentanan menengah terhadap vankomisin.
4. SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE) / Ngorok
Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan gejala-gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung pada daerahdaerah submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran seksi pada ternak memamah biak menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.
Penyakit SE menyebabkan kematian, napsu makan berkurang, penurunan berat badan serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan.
Di Indonesia, karena program vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusatenggara, seperti Sumba,Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. Pada umumnya wabah itu terjadi pada permulaan musim hujan. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu. Keadaan ini mungkin karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di mana ternak merumput secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.
Penyebab
Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler.
Secara serologik dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di Indonesia, antara lain adalah Pasteurella multocida tipe 6B. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.
Cara Penularan
Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya mempermudah timbulnya penyakit.
Penyakit ngorok biasanya menyerang sapi umur 6 – 24 bulan dan sering terjadi ada musim hujan yang dingin. Sapi yang belum divaksinasi SE lebih banyak terserang. Kondisi stress dalam pengangkutan merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ini, sehingga penyakit ini disebut pula shipping fever.
Diduga pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular oleh ternak sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat-alat yang tercemar. Ekskreta ternak penderita (ludah, kemih, dan tinja) juga mengandung bakteri.
Bakteri yang jatuh di tanah apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh), maka akan tahan kurang lebih satu minggu dan dapat menulari ternak-ternak yang digembalakan di tempat tersebut.
Sapi yang menderita penyakit SE harus diisolasi pada tempat yang terpisah. Apabila sapi itu mati ataupun dapat sembuh kembali, kandang dan peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu harus dihapushamakan. Jangan gunakan kandang tersebut sebagai tempat sapi sebelum lewat minimal 2 minggu.
Penyakit SE ditemukan di sebagian besar wilayah Indonesia dan negara negara lain kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Jepang dan Afrika Selatan. Kebanyakan wabah bersifat musiaman, terutama pada musim penghujan. Faktor-faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebaginya mempermudah timbulnya penyakit. Diduga sebagai intu gerbang infeksi kuman ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Hewan sehat akan tertular hewan sakit atau embawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat0alat yang tercemar. Ada kemungkinan pula bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor.
Pada babi SE dijumpai berbentuk gangguan pernafasan dengan gejala batuk lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama
Gejala Klinis
Gejala penyakit SE adalah
- Bentuk busung
- Bentuk pektoral
- Kelainan pasca mati
Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari. Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih. Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput lendir mata hiperemik. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang dapat melanjut ke nekrose kulit.
Pada SE dikenal tiga bentuk, yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada bentuk busung ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat kelamin juga mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi, sampai 90% dan berlangsung cepat, hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu. Sebelum mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok, merintih dengan gigi gemeretak.
Pada bentuk pektoral, tanda-tanda bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung, pernafasan cepat dan susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung lebih lama, yaitu antara 1 – 3 minggu.
Kadang-kadang penyakit dapat berjalan kronis, ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan terganggu, terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah.
Perubahan Pasca Mati
Secara anatomi patologi dikenal bentunk bususng, pektoral dan intestinal. Yang paling banyak ditemukan adalah kombinasi dua atau tiga bentuk , meskipun bentuk busung lebih menonjol.
Pada bentuk busung terlihat busung gelatin disertai perdarahan di bawah kulit di bagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan di sekitar faring, epiglotis dan pita suara. Lidah sering kali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar. Selaput lendir saluran pernapasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai selaput fibrin.
Kelenjar limfa retropharingeal dan cervical membengkak. Rongga perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan atau kemerahan. Tanda-tanda peradanagn akut hemorrhagik bisa ditemukan di abomasum dan usus halkus dan sekalisekali di bagian colon. Isi rumen umumnya kering, sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Sering kali di dapati gastroenteritis bersifat hemorrhagik. Limpa jarang mengalami perubahan. Proses degenerasi umumnya ditemukan pada alat-alat parenkim (jantung, hati dan buah pinggang).
Pada bentuk pektoral terlihat pembendungan kapiler dan perdarahan di bawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada pleura terlihat peradangan dengan perdarahan titik (petechiae) dan selaput fibrin tampak pada permukaan alat-alat viseral dalam rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothorak, hidropericard dengan cairan yang kering., berfibrin. Paru-paru menderita bronchopneumoni berfibrin atau fibrinonekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kadang-kadang konsistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam dalam satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin, bagian-bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak meradang tampak hiperemik dan berbusung. Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda-tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.
Pada bentuk intestinal biasanya mengiringi kedua bentuk tersebut di atas, terlihat gastroenteritis kataralis hingga hemorrhagik.
Pencegahan
Pencegahan penyakit SE dilakukan dengan cara:
- Untuk daerah bebas SE, tindakan pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut.
- Untuk-daerah-daerah tertular, hewan-hewan sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvan
- Ada hewan tersangka sakit daat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
- Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan
- Penyuntikan antibiotik
- Penyuntikan kemoterapika
- Penyuntuikan antiserum dan antibiotik atai anti serum dan kemoterapika
Untuk daerah-daerah tertular, ternak-ternak sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvant, sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intra muskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.
Pada ternak tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pen cegahan, penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi penyuntikan antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan kemoterapetika.
Dosis pencegahan antiserum untuk ternak besar adalah 20 – 30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10 – 20 ml. Antiserum heterolog disuntikkan secara subkutan (SC) dan antiserum homolog disuntikkan secara intravena (IV) atau SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit disusul dengan vaksinasi.
Pengobatan
Pengobatan terhadap penyakit SE dapat dilakukan sebagai berikut (1) Seroterapi dengan serum kebal homolog dengan dosis 100 – 150 ml untuk ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil. Antiserum homolog diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan secara SC. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2 sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atau kemoterapetika (2) Seandainya antiserum tidak tersedia, pengobatan dapat dicoba dengan preparat antibiotika, kemoterapetika atau gabungan kedua preparat tersebut (3) Sulphadimidine (suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb bw.
Pengendalian dan pemberantasan
Secara garis besar, polanya sama dengan pemberantasan penyakit anthrax, yaitu
- dalam keadaan penyakit sporadis, tindakan pemberantasan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan penyuntikan antiserum SE pada hewan sakit
- dalam keadaan penyakit enzootik/epizotik, tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dari daerah belum tertular
Perlakuan pemotongan hewan dan daging
Dengan pertimbangan bahwa:
- SE tidak berbahaya untuk konsumsi manusia
- Hamir seluruh indonesia adalah daerah tertular SE, maka hewan berpenyakit SE tidak dilarang untuk dipotong, sesuai dengan peraturan yang berlaku
Diagnosa banding
Apabila busung tidak terlihat jelas, SE dapat dikelurkan dengan anthrax dan rinderpest. Pada SE tidak ditemukan endarahan yang berwarna hitam serupa seerti halnya anthrax. Selain dari gejala-gejala klinis SE dapat dibedakan dari rinderpest, karena pada SE tidak terjadi radang usus yang bersifat krupus difteritis dan nekrose ada jaringan limfoid. Untuk peneguh diagnose, kuman penyebab SE harus dapat diisolasi. Perlu diketahui bahwa tidak hanya kuman Pasteurella yang mempunyai sifat bipoler.
5. Penyakit Pink Eye.
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.
Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan ,penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.
Etiologi
Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun chlamydia, namun yang paling sering ditemukan adalah akaibat bakteri Maraxella bovis.
Cara Penularan
Mikrorganisme penyebab ditularkan lewat kontak antara ternak peka dengan ternak penderita atau oleh serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme atau bisa juga lewat iritasi debu atau sumber-sumber lain yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata.
Gejala Klinis
Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya, bengkak pada kelopak mata dan cenderum menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari. Selanjutnya selaput bening mata/kornea menjadi keruh dan pembuluh darah tampak menyilanginya. Kadang-kadang terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam waktu 1 – 4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.
Pengobatan
Suntikan antibiotik, seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan salep mata dapat membantu kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak pada tempat yang teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa sakit mata akibat silaunya matahari.
Pencegahan
Memisahkan ternak yang sakit dari ternak-ternak sehat merupakan cara terbaik untuk pencegahan terhadap pinx eye. Tidak tersedia vaksin untuk penyakit ini.
6. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Penyakit mulut dan kuku (PMK) disebut juga foot and mouth disease (FMD) atau Aphtae Epizooticae (AE). Penyakit mulut dan kuu adalah penyakit akut dan sangat menular yang menyerang sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya. Infeksi ditadai dengan pembentukan lepuh yang kemudian berkembang menjadi erosi pada selaput lendir mulut, diantara kuku, lekuk koroner kaki dan puting susu.
Penyebab PMK adalah virus RNA, berdiameter 20 mu. Virus ini sangat labit (antigenetisnya mudah berubah), virusnya tidak tahan terhadap asam dan alkalis, panas, sinar ultraviolet, beberapa zat kimia dan desinfektan. Akan tetapi virus ini tahan hidup ada bahan yang mengandung protein, tahan kekeringan dan tahan dingin.
Gejala klinis ada ternak adalah lesu, suhu tubuh dapat mencapai 41 0C, hypersalivasi (karena erosi selaput lendir mulut dan lidah), nafsu makan berkurang, enggan berdiri (karena luka pada interdigital), enurunan produksi susu secara mendadak, penurunan berat badan yang terjadi serentak pada suatu kelompok hewan dan hewan antar jenis lainnya di pekarangan yang sama. Gejala yang khas berupa lepuh-lepuh diruang mulut terutama bagian atas indah, bibir bagian dalam, gusi, langit-langit, dan sekali-kali pada selaput lendir mata.
Pencegahan penyakit PMK
- Laporan Dinas Peternakan kepada Dirjen eternakan dan Pemda, tentang terdaatnya kejadian pertama PMK
- Melakukan pemeriksaan dan peneguhan PMK oleh laboratorium yang berwenang
- Pernyataan dari pihan Dirjen Peternakan dan Penda tentang terdaatnya/bebasnya statu daerah terhadap PMK
- Ketentuan Umum
- Persyaratan khusus lalu lintas ternak bibit dan potong
Pengendalian penyakit PMK
- Vaksinasi
- Pada pemindahan hewan dari daerah tersangka dan tertular dan tertular ke suatu daerah perlu dilakukan vaksinasi
- Daerah terjangkit, tertutup bagi keluar masuknya hewan. Alat-alat angkutan atau alat lainnya dihapushamakan sebelum meinggalkan daerah.
- Virus PMK pada jerami tahan 1 bulan dan yang terbungkus protein tahan berbulan-bulan
- Pengobatan terhada penderita PMK dengan serum dan antibiotika tidak memperoleh hasil yang memuaskan karena hanya infeksi sekunder saja.
Pemberantasan penyakit PMK
Pembunuhan hewan yang sakit dan hewan yang berkontak dengan hewan yang sakit adalah cara yang terbaik untuk memberantas PMK, tetapi hal ini membutuhkan biaya yang besar, cara ini hanya daat dilakukan pada keadaan yang khusus seerti daerah wabah.
Perlakukan pemotongan hewan dan daging
Ternak penderita atau tersangka PMK diijinkan untuk dipotong. Ternak tersebut daat diangkut ke RPH dan dagingnya bolej diperjualbelikan setelah dilayukan 24 jam, akan tetapi tulang, jerohan/viscera, kaki dan kepala harus direbus terlebih dahulu, kulitnya boleh diangkut keluar RPH dalam keadaan kering sempurna dan setelah direbus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar